ISI IKLAN DILUAR TANGGUNG JAWAB KAMI

SPACE IKLAN hubungi

MARI BELAJAR

Fikih / BAB GADAI

Senin, 15 Februari 2010



<B>MAKALAH FIQIH</B>





1



GADAI



BAB I

PENDAHULUAN


Islam sebagai agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Begitu pula saat seseorang membutuhkan untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka., maka Islam telah memberikan kaidah-kaidahnya. Salah-satunya, yaitu dalam hutang piutang. Islam memberikan perlindungan secara adil atas diri yang berhutang dan yang memberi pinjaman. Yaitu adanya pemberlakukan barang gadai sebagai jaminan.

Munculnya banyak lembaga peminjaman (atau perseorangan) dengan jaminan, baik yang dikelola pemerintah atau swasta, menjadi bukti adanya transaksi gadai di tengah masyarakat. Perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan manusia, tetapi sudah lama berlangsung. Yang kadang tak bisa dihindari, yaitu akibat yang ditimbulkan dari transaksi gadai ini, yakni adanya perbuatan zhalim dan saling memakan harta dengan cara batil.

Bagaimana syari’at Islam memandang transaksi gadai ini? Berikut adalah pembahasan mengenai hal tersebut, atau yang disebut Ar-Rahn? Semoga menambah pengertian kita, sehingga dapat menghindarkan diri dari praktek-praktek yang merugikan, baik terhadap diri sendiri ataupun orang lain.





2

A. KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Illahi Robbi atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dari kelompok V dapat menyusun Tugas dengan topik “GADAI”. Tugas ini disusun sebagai bahan untuk mendapatkan nilai dari mata kuliah “FIKIH”:

Dan khusus kepada bapak Dosen, dengan kerendahan hati kami menyampaikan terima kasih atas tugas yang diberikan dan juga bimbingannya.Sehingga dengan tugas itu, kami bisa merasakan bagaimana rasanya bekerjasama untuk menyelesaikan sebuah permasalahan.

Selain itu juga kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas ini.

Besar harapan kami, agar makalah ini, bisa menjadi satu bahan diskusi dalam kelas tarbiyah, khususnya kelas tarbiyah, semester 3 (tiga) masuk sore. Kami menyadari bahwa Tugas ini banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat Konstrukrif dari semua pihak yang telah membaca sangat diharapkan, agar penyusunan mendatang lebih sempurna.


Hormat Kami




PENYUSUN


B PERUMUSAN MASALAH

  1. Apakah definisa ar-rahn (gadai) ?
  2. Bagaimana pensyari’atan rahn (gadai) dalam Islam ?
  3. Bagaimana hukum ar-rahn ?
  4. Sebutkan rukun dan syarat ar-rahn ?
  5. Kapan Ar-Rahn (Gadai) Menjadi Keharusan?
  6. Kapan Serah Terima Ar-Rahn Dianggap Sah?
  7. Bagaimana hukum-hukum setelah serah terima barang gadai ?
  8. Bolehkah peminjaman barang gadai memanfaatkan barang jaminan ?
  9. Hikmah pensyariatan ar-rahn itu apa saja ?

C. TUJUAN PEMBAHASAN MASALAH DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM

  1. Mengetahui definisa ar-rahn (gadai).
  2. Mengetahui hukum ar-rahn.
  3. Mengetahui rukun dan syarat ar-rahn.
  4. Mengetahui hukum-hukum setelah serah terima.
  5. Mengetahui Hikmah pensyariatan ar-rahn untuk yang menggadaikan (Rahin), Pemberi hutang (Murtahin), Masyarakat

D. SISTEMATIKA PEMBAHASAN.

Sistematika pembahasan paper ini diuraikan dalam bahasa yang lugas, sederhana sehingga mudah dipahami termasuk oleh semua pembaca dari kelas Tarbiyah masuk sore. Selain itu berisi panduan – panduan dan pelajaran bagi generasi muda Islam sekarang, serta keterangan – keterangan mengenai masalah AR –RAHN (GADAI) dalam syariat Islam




2



BAB II

AR – RAHN (GADAI)

1. DEFINISA AR-RAHN (GADAI)

Rahn dalam bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu. [1}
Menurut bahasa, “rahn” berarti pemenjaraan. Misalnya perkataan mereka (orang Arab), “rahanasy syai-a” artinya apabila sesuatu itu terus menerus dan menetap. Allah berfirman: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas perbuatannya.” (QS Al-Muddatsir: 38).
Kata Rahienah bermakna tertahan

Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. [2]
Ibnu Faris berkata : Huruf Raa, Haa' dan Nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak ataupun tidak. Dari kata ini adalah kata Ar-Rahn yaitu sesuatu yang digadaikan. [3]
Sedangkan menurut Syeikh Al Basaam, defenisi, Ar-Rahn adalah jaminan hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasinya.

Adapun definisi Rahn dalam istilah Syari'at, para ulama telah menjelaskan, yaitu menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang untuk dilunasi dengan jaminan tersebut, apabila (si peminjam) tidak mampu melunasinya[4]. Atau harta benda yang dijadikan jaminan hutang untuk dilunasi (hutang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut, apabila yang berhutang tidak mampu melunasinya[5]. Atau memberikan harta sebagai jaminan hutang agar digunakan sebagai pelunasan hutang dengan harta atau nilai harta tersebut bila yang berhutang tidak mampu melunasinya[6] .
Sedangkan menurut Syeikh Al Basaam, defenisi, Ar-Rahn adalah jaminan hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasinya.[7]

Adapun menurut istilah syara’, kata rahn ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak sanggup melunasi hutangnya. (Fathul Bari V: 140 dan Manarus Sabil I: 351).

2. PENSYARI’ATAN RAHN (GADAI)

Allah swt berfirman:

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” (QS al-Baqarah: 283)

Dikaitkannya hutang piutang dengan safar pada ayat di atas hanyalah karena disampaikan sesuai dengan situasi dan kondisi pada umumnya saat itu, sehingga mahfum dalam ayat di atas tidak berlaku, artinya untuk melakukan rahn tidak harus dalam safar. Ketika muqim juga boleh, hal ini ditegaskan oleh riwayat berikut:

Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, dan beliau menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi itu. (Muttafaqun ’alaih).

3. HUKUM AR-RAHN.

Berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ kaum muslimin, sistem hutang–piutang dengan gadai ini diperbolehkan (mubah) dan disyariatkan.

Dalil di dalamAl-Qur’an, yaitu firman Allah:
??? ???? ??? ??? ??? ????? ?? ??? ?? ?? ???? ??‘? ??? ??? ????? ???? ???????? ? ?? ??? ? ?? ??? ????? ???? ???,???? ?????? ????? ??,???? ?????? ???? ??? ????,? ????? ??? ?????? ???? ( ????? ?: ??? )


“Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [Al-Baqarah : 283].

Dalam ayat ini walaupun disebutkan "dalam perjalanan” namun tetap menunjukkan keumumannya. Yakni baik dalam perjalanan maupun dalam keadaan mukim. Karena kata “dalam perjalanan” pada ayat ini, hanya menunjukkan keadaan yang biasa membutuhkan sistem ini.

Dibolehkannya Ar-Rahn, juga dapat ditunjukkan dengan amalan Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah melakukan sistem gadai ini, sebagaimana dikisahkan Umul Mukminin A’isyah Radhiyallahu ‘anha.

“Artinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli dari seorang yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya”
[HR Al Bukhori no 2513 dan Muslim no. 1603]

Demikian juga para ulama telah bersepakat bolehnya Ar-Rahn dalam keadaan safar (perjalanan), akan tetapi masih berselisih tentang bolehnya jika dalam keadaan tidak safar.

  1. Imam Al Qurthubi mengatakan : “Tidak ada seorangpun yang melarang Ar- Rahn pada keadaan tidak safar, kecuali Mujahid, Al Dhahak dan Dawud (Ad Dzohiri).[8] Demikian juga Ibnu Hazm.
  2. Ibnu Qudamah, beliau mengatakan : Diperbolehkan Ar-rahn dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian).
  3. Ibnul Mundzir mengatakan : Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Menurutnya, Ar-Rahn tidak ada kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    “Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
  4. Namun yang benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama dengan adanya perbuatan Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sabda beliau:
    “Artinya : Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan. Dan susu hewan menyusui diminum, dengan sebab nafkah apabila digadaikan. Dan wajib bagi yang menungganginya dan meminumnya (memberi) nafkah”
    [HR Al Bukhori no. 2512] Wallahu A'lam[9].

Pendapat ini disetujui oleh Ibnu Qudamah, Al Hafidz Ibnu Hajar[10] dan Muhammad Al Amien Al Singqithi[11]

Setelah jelas pensyariatan Ar-Rahn dalam keadaan safar (perjalanan), apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim, atau tidak wajib pada keseluruhannya atau wajib dalam keadaan safar saja?

PENDAPAT MENGENAI HUKUM AR-RAHN (GADAI)

Dalam keadaan demikian, para ulama berselisih dalam dua pendapat:

  • Pendapat Pertama : Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hambaliyah). Ibnu Qudamah: berkata Ar-rahn tidaklah wajib. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya. Karena ia (Ar-Rahn) adalah jaminan atas hutang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung jawaban)” [12] .Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan Ar-Rahn dalam keadaan mukim sebagaimana disebutkan diatas yang tidak menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajib. Demikian juga karena Ar-Rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti halnya Adh-Dhimaan (Jaminan Pertanggung jawaban) dan Al Kitabah (penulisan perjanjian hutang). Disamping itu, juga karena ini adanya kesulitan ketika harus melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila Al-Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya.

  • Pendapat Kedua : Wajib dalam keadaan safar. Demikian pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah:
    “Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)” .
    [Al-Baqarah ; 283].
    Menurut mereka, kalimat “(maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang))” adalah berita yang rmaknanya perintah. Juga dengan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
    “Artinya : Semua syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka ia bathil walaupun seratus syarat.” [HR Al Bukhari]
    Mereka mengatakan: Pensyaratan Ar-Rahn dalam keadaan safar ada dalam Al-Qur'an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim, sehingga ia tertolak.

    Pendapat ini dibantah, bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya:
    “Artinya : Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”
    [Al-Baqarah ; 283].

Demikian juga pada asalnya dalam transaksi mu'amalah adalah boleh (mubah) hingga ada larangan, dan disini tidak terdapat adanya larangannya.[13] Yang disetujui oleh mayoritas ulama’ adalah pendapat pertama, Wallahu A'lam.

4. RUKUN DAN SYARAT AR-RAHN

Mayoritas ulama memandang rukun Ar-Rahn (gadai) ada empat, yaitu :

  1. Ar-Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan)
  2. Al Marhun bihi (hutang)
  3. Shighah [15]
  4. Dua pihak yang bertransaksi yaitu Rahin (orang yang menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang)

Sedangkan madzhab Hanafiyah memandang Ar-Rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena ia pada hakekatnya adalah transaksi.[16]

Sedangkan syarat dalam Ar-Rahn adalah sebagai berikut:

  1. Syarat yang berhubungan dengan yang melakukan transaksi, yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).[17]
  2. Syarat yang berhubungan dengan Al Marhun (barang gadai) ada dua:, yaitu
  3. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya baik dalam bentuk barang atau nilainya, apabila yang berhutang tersebut tidak mampu melunasinya[18]
  4. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.[19]
  5. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Ar-Rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.[20]
  6. Syarat berhubungan dengan Al-Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.[21]

5. KAPAN AR-RAHN (GADAI) MENJADI KEHARUSAN?

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah keharusan Ar-Rahn. Apakah langsung seketika saat transaksi, ataukah setelah serah terima barang gadainya Dalam masalah ini terdapat dua pendapat.

  1. Serah terima adalah menjadi syarat keharusan terjadinya Ar-Rahn. Demikian pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi'iyah dan riwayat dalam madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah. (22)
  2. Ar-Rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya maka ia pun dipaksa untuk menyerahkannya. Demikian pendapat madzhab Malikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan menyatakan: sifat keumumannya namun hajat menuntut (keharusannya) tidak dengan serah terima (Al-Qabdh).[23] Menurut Prof. DR. Abdullah Al Thoyyar, yang setuju, bahwasanya Ar-Rahn menjadi keharusan dengan adanya akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faidah Ar-Rahn, yaitu berupa pelunasan hutang dengannya atau dengan nilainya, ketika (hutangnya) tidak mampu dilunasi. Dan ayat ini hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan menuntut adanya jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan mendapatkannya.[24]

6. KAPAN SERAH TERIMA AR-RAHN DIANGGAP SAH?

  1. Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.
  2. Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.
  3. Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, dalam hal ini perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.

    HUKUM-HUKUM SETELAH SERAH TERIMA.

    Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang.

    1. . Pemegang Barang Gadai
      Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:
      ??? ???? ??? ??? ??? ????? ?? ??? ?? ?? ???? ?? ( ????? ?: ??? )

      “Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).[Al-Baqarah : 283]

      Dan sabda Rasulullah SAW.

      “Artinya : Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi]

    2. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai

      Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

      “Artinya : Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi]

      Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai. [25]

      Adapun mayoritas ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah mereka memandang Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadai. Pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

      “Artinya : Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya” [HR Al daraquthni dan Al Hakim]

      Mereka tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya, kecuali Ahmad dan inilah yang Insya Allah karena hadits shohih tersebut. [26]

      Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits pemanfaatan kendaraan gadai, bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul syari'at menunjukkan, hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan, dan Murtahin (yang memberikan hutang) memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya, tentu kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (Murtahin) dan hewan tersebut, ialah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila Murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini terdapat kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.[27]

    3. Pertumbuhan Barang Gadai

      Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya [28]

    4. Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai

      Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak mampu melunasinya.Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apabila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut). Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya.[29]

      Kesimpulannya, barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila Rahin dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka Murtahin harus melepas barang tersebut. Adapun bila Rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Ar-Rahin) menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya, dengan izin dari Murtahin, dan dalam pembayaran hutnganya didahulukan Murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Demikianlah pendapat madzhab Syafi'iyah dan Hambaliyah. Adapun Malikiyah, mereka memandang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang, Murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya, bila tampak pada Ar-Rahin tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.[30]

      Yang dibolehkan, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai tersebut, karena tujuannya adalah membayar hutang, dan tujuan itu terwujud dengan menjual barang gadai tersebut. Juga untuk mencegah adanya dampak negative di masyarakat dan lainnya, jika diberlakukan penjara. Apabila barang gadai tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya, maka selesailah hutang tersebut. Namun bila tidak dapat menutupinya, maka penggadai tersebut tetap memiliki hutang sisa, antara nilai barang gadai dengan hutangnya dan ia wajib melunasinya.

    5. PEMINJAMAN BARANG GADAI MEMANFAATKAN BARANG JAMINAN

      Penerimaan barang gadai tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan. Berdasarkan riwayat yang termuat dalam pembahasan qiradh:

      Setiap pinjaman yang membawa manfa’at, maka ia adalah riba.

      Terkecuali barang gadai itu berupa binatang ternak yang bisa diperah susunya, atau yang dapat dikendarai, maka boleh diperah susunya dan ditunggangi, bila sang penerima gadai sanggup membiayai dan merawatnya:

    6. HIKMAH PENYSYARIATAN AR-RAHN

    Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang miskin, sedangkan harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang pada waktu tertentu seseorang sangat membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Dan pada saat itu tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya. Begitu juga tidak ada penjamin yang menjaminnya, sehingga ia mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berhutang, atau meminjam dengan kesepakatan tertentu, yaitu memberikan jaminan gadai yang disimpan pada pihak pemberi hutang hingga ia melunasi hutangnya. Oleh karena itu Allah mensyariatkan Ar-Rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (Rahin), pemberi hutang (Murtahin) dan masyarakat.

    1. Untuk yang menggadaikan (Rahin), ia mendapatkan keuntungan sehingga dapat menutupi kebutuhannya. Sehingga dia bisa menyelamatkan dirinya dari krisis yang menimpanya, dan menghilangkan kegundahan di hatinya. Bahkan kadang ia bisa berdagang bermodal hutang tersebut, lalu menjadi sebab ia menjadi kaya.
    2. Sedangkan pihak pemberi hutang (Murtahin), ia menjadi tenang dan merasa aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar'I dan bila ia berniat baik maka mendapatkan pahala dari Allah.
    3. Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaandan dam kasih sayang diantara manusia, karena peminjaman dengan Ar-Rahn ini termasuk kategori tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Disana terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan melapangkan penguasa.[14]

    Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai. Penyelesaian dan pelunasan hutang dilakukan secara adil. Tidak seperti yang dilakukan di tengah masyarakat kebanyakan. Yakni terjadinya tindak kezhaliman yang dilakukan pemilik piutang, dengan cara menyita barang gadai, walau nilainya lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin berlipat-lipat. Perbuatan semacam ini, sangat jelas merupakan perbuatan Jahiliyah dan perbuatan zhalim yang harus dihilangkan. Semoga kita terhindar dari perbuiatan ini.



    3

    BAB III

    A. KESIMPULAN

    1. DEFINISA AR-RAHN (GADAI)

      Ar-Rahn adalah jaminan hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasinya.
      Ar-Rahn ialah memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak sanggup melunasi hutangnya.

    2. PENSYARI’ATAN RAHN (GADAI)

      Allah swt berfirman:

      “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” (QS al-Baqarah: 283)

      Dalam Sebuah Hadits:

      Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, dan beliau menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi itu. (Muttafaqun ’alaih).

    3. HUKUM AR-RAHN.

      Berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ kaum muslimin, sistem hutang–piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan.

    4. PENDAPAT MENGENAI HUKUM AR-RAHN (GADAI)

      Dalam keadaan demikian, para ulama berselisih dalam dua pendapat.

      Pendapat Pertama : Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hambaliyah).

      Pendapat Kedua : Wajib dalam keadaan safar. Demikian pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya.
      Demikian juga pada asalnya dalam transaksi mu'amalah adalah boleh (mubah) hingga ada larangan, dan disini tidak terdapat adanya larangannya.[13]
      Yang disetujui oleh mayoritas ulama’ adalah pendapat pertama, Wallahu A'lam.

    5. RUKUN DAN SYARAT AR-RAHN

      Mayoritas ulama memandang rukun Ar-Rahn (gadai) ada empat, yaitu :

      • Ar-Rahn atau Al Marhuun (barang yang digadaikan)
      • Al Marhun bihi (hutang)
      • Shighah [15]
      • Dua pihak yang bertransaksi yaitu Rahin (orang yang menggadaikan) dan Murtahin (pemberi hutang)

      Sedangkan madzhab Hanafiyah memandang Ar-Rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena ia pada hakekatnya adalah transaksi.[16]

      Sedangkan syarat dalam Ar-Rahn adalah sebagai berikut:

      • Syarat yang berhubungan dengan yang melakukan transaksi, yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).[17]
      • Syarat yang berhubungan dengan Al Marhun (barang gadai) ada dua:, yaitu
      • Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya baik dalam bentuk barang atau nilainya, apabila yang berhutang tersebut tidak mampu melunasinya[18]
      • Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.[19]
      • Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Ar-Rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.[20]
      • Syarat berhubungan dengan Al-Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.[21]
    6. KAPAN AR-RAHN (GADAI) MENJADI KEHARUSAN?

      Para ulama berselisih pendapat dalam masalah keharusan Ar-Rahn. Apakah langsung seketika saat transaksi, ataukah setelah serah terima barang gadainya

      Dalam masalah ini terdapat dua pendapat.

      • Pendapat pertama Serah terima adalah menjadi syarat keharusan terjadinya Ar-Rahn.
      • Pendapat kedua Ar-Rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi.
    7. KAPAN SERAH TERIMA AR-RAHN DIANGGAP SAH?
      • Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.
      • Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.
      • Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, dalam hal ini perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.


    8. . HUKUM-HUKUM SETELAH SERAH TERIMA.
      • Pemegang Barang Gadai
        Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut.
      • Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
        Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan.
      • Pertumbuhan Barang Gadai
        Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang menyepatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya [28]
      • Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
        Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak mampu melunasinya

    9. PEMINJAMAN BARANG GADAI MEMANFAATKAN BARANG JAMINAN

      Penerimaan barang gadai tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan. Berdasarkan riwayat yang termuat dalam pembahasan qiradh:
      Setiap pinjaman yang membawa manfa’at, maka ia adalah riba.
      Terkecuali barang gadai itu berupa binatang ternak yang bisa diperah susunya, atau yang dapat dikendarai, maka boleh diperah susunya dan ditunggangi, bila sang penerima gadai sanggup membiayai dan merawatnya:

    10. HIKMAH PENYSYARIATAN AR-RAHN

      Allah mensyariatkan Ar-Rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (Rahin), pemberi hutang (Murtahin) dan masyarakat.

      • Untuk yang menggadaikan (Rahin), ia mendapatkan keuntungan sehingga dapat menutupi kebutuhannya. Sehingga dia bisa menyelamatkan dirinya dari krisis yang menimpanya, dan menghilangkan kegundahan di hatinya. Bahkan kadang ia bisa berdagang bermodal hutang tersebut, lalu menjadi sebab ia menjadi kaya.
      • Pemberi hutang (Murtahin), ia menjadi tenang dan merasa aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar'I dan bila ia berniat baik maka mendapatkan pahala dari Allah.
      • Masyarakat, yaitu memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan rasa kasih sayang diantara manusia, karena peminjaman dengan Ar-Rahn ini termasuk kategori tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Disana terdapat manfaat yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan melapangkan hati serta menambah rasa persaudaraan.[14]

      Wallahul Muwaffiq.



      4

      CATATAN (Foote Note)


      1. Kitab Taudhih Al Ahkam Min Bulugh Al Maram, Syeikh Abdullah Al Bassaam cetakan kelima tahun 1423 H, Maktabah Al Asadi, Makkah, KSA 4/460
      2. Lisan Al Arab karya Ibnu Mandzur pada kata Rahana, dinukil dari kitab Al Fiqh Al Muyassarah, Qismul Mu'amalah, Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425 H, Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 115
      3. Mu'jam Maqaayis Al Lughoh 2/452 dinukiil dari Abhaats Hai'at Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Su'udiyah, disusun oleh Al Amaanah Al 'Amah Lihai'at Kibar Al Ulama. Cetakan pertama tahun 1422 H 6/102
      4. Al Majmu' Syarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan Muhamma Najieb Al Muthi'I, cetakan tahun 1419 H, Dar Ihyaa Al TUrats Al 'Arabi, Beirut. 12/299-300
      5. .Mughni, Ibnu Qudamah tahqiq DR. Abdullah bin Abdulmuhsin Alturki dan Abdulfatah Muhammad Al Hulwu, cetakan kedua tahun 1412 H, penerbit hajar, Kairo, Mesir. 6/443
      6. Al Wajiz Fi Fiqhi sunnah wal Kitab Al Aziz, hal.
      7. Taudhih Al Ahkam Syarah Bulugh Al Maram 4/460
      8. AbhatsHai'at Kibar Ulama 6/107
      9. Al Mughni 6/444 dan taudhih Al Ahkam 4/460
      10. Fathul Bari 5/140
      11. Adhwa' Al Bayaan 1/228
      12. Al Mughni 6/444
      13. Abhats Hai'at Kibar Ulama 6/112-112
      14. Abhats Hai'ah Kibar Ulama 6/112.
      15. Shighah adalah sesuatu yang menjadikan kedua transaktor dapat mengungkapkan keridhoannya dalam transaksi baik berupa perkataan yaitu ijab qabul atau berupa perbuatan.
      16. Al Fiqh Al Muyassarah, hal. 116
      17. Lihat Al Majmu' Syarhul Muhadzab 12/302, Al Fiqh Al Muyassar hal 116 dan Taudhih Al Ahkam 4/460
      18. Al Fiqh Al Muyassarah hal 116
      19. Taudhil Al Ahkam 4/460 dan Al Fiqh Al Muyassarah hal. 116
      20. Taudhih Al Ahkam 4/460
      21. Al Fiqh Al Muyassarah hal 1163.
      22. Al Mughni 6/446








Space Iklan harga nego

Iklan OK

PENGUNJUNG

free counters

VISITOR

JUMLAH PENGUNJUNG MULAI PER 24 JUNI 2010 DARI TIAP NEGARA